░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░░

Justice . . . .

Keadilan. Sebuah kata yang belakangan ini menjadi santer di Indonesia. Apalagi setelah munculnya kasus Cicak VS Buaya, atau karena permintaan seorang petinggi Polri, saya sebut saja KPK VS Polisi. Semua orang begitu antusias bergabung dengan berbagai grup di jejaring facebook yang menuntut keadilan di negeri ini.

Mari kita berhenti sejenak untuk merenungkan arti keadilan. Keadilan adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf terkagum-kagum sejak Plato membantah filsuf muda, Thrasymachus, karena ia menyatakan bahwa keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat. Dalam Republik, Plato meresmikan alasan bahwa sebuah negara ideal akan bersandar pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, pantangan (atau keprihatinan), dan keadilan.

Plato memberikan tempat yang penting mengenai konsep keadilan, yang juga tidak dapat dipisahkan dari keprihatinannya akan keadaan masyarakat Athena yang jauh dari teratur dan ideal.

Ia memakai kata Yunani Dikaisyne sebagai padanan keadilan yang sangat dekat dengan moralitas atau keutamaan. Plato berpendapat bahwa keadilan adalah kualitas jiwa, suatu keutamaan di mana manusia menyingkirkan hasrat akan setiap kesenangan dan mendapatkan kepuasan sendiri dan mengakomodasi diri mereka sendiri sebagai fungsi tunggal.

Bagi Plato, keadilan eksis baik dalam individu maupun dalam masyarakat. Namun, keadilan eksis dalam skala yang lebih luas dan dalam bentuk yang lebih jelas di dalam masyarakat. Secara individu, keadilan adalah keutamaan manusiawi yang membuat seseorang baik dan konsisten.

Sementara secara sosial, keadilan adalah suatu kesadaran sosial yang membuat suatu masyarakat baik dan harmonis secara internal. Dari invividu yang adil, terbentuklah masyarakat yang adil.

Gunawan Muhammad dalam Catatan Pinggirnya di Majalah tempo berjudul “Euminedes’ menulis hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari “rasa keadilan”. Kata “rasa” di sini sebenarnya lebih dekat ke arah “kesadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melainkan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Dengan kata lain, sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari hasrat yang kita sebut “rasa keadilan” itu.

Penghayatan tentang adil ini mungkin berbeda bagi banyak orang. Ada yang mengatakan adil berarti pembalasan yang sepadan. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Ada juga yang menerapkan hukum positf dalam label keadilan. Melihat sebuah perbuatan buruk harus mendapatkan ganjaran yang setimpal tanpa harus melibatkan dendam tujuh turunan. Ganjaran setimpal inilah yang menjadi dasar hadirnya undang-undang peradilan di seluruh dunia.

Tidak ada sebuah kepastian yang mutlak untuk sebuah keadilan. Namun, keadilan harus berdasarkan kebenaran. Setidaknya itulah yang dituntut oleh masayarakat kita ketika kasus kriminalisasi KPK mencuat. Kebenaran…yang diharapkan akhirnya menghadirkan keadilan. Namun apakah kebenaran itu? Adakah kebenaran yang mutlak? Itu juga sebuah pertanyaan.

Semakin rumit dan membingungkan bila kita terus memandang pada sebuah teori mengenai keadilan, apalagi kebenaran. Keadilan selalu memiliki kecatatan karena bergantung pada individu yang memercayainya. Dan individu itupun tak sempurna.

Jadi, perenungan ini akan saya buat lebih sederhana. Lihat sekeliling anda. Apakah hati anda terusik saat melihat seroang maling ayam yang dikeroyok massa hingga babak belur dan hampir mati? Apakah hati anda terusik ketika anda melihat seorang pejabat negara yang berkoar-koar tentang kesejeahteraan rakyat namun di belakangnya berjubel berbagai kasus korupsi? Apakah hati anda terusik ketika melihat anggota dewan yang bisa makan enak di berbagi restoran terbaik dunia sambil studi banding sementara di Yahokimo belasan orang tewas akibat malnutrisi? Bila ya, apa yang akan anda perbuat? Kalau anda berani setidaknya berbicara dalam ruang public, maka berbahagialah…anda memiliki rasa keadilan itu.

[+/-] Next...

Designed by : Dens_Arya.com